Menunggu Kebenaran Dan Keadilan Dari Tangan Presiden Joko Widodo.
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Hari Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran HAM berat yang jatuh pada tanggal 24 Maret, diperingati sebagai hari Internasional. Hak atas kebenaran merupakan hak korban dan masyarakat untuk mengetahui seputar peristiwa yang telah terjadi, pihak yang bertanggungjawab, dan jaminan untuk menghindari keberulangan kejadian serupa dimasa kini dan yang akan datang.
Pihak Kontras menyebutkan, upaya pencarian kebenaran ini adalah upaya melekat dari akuntabilitas negara yang harus dilakukan. Upaya ini sifatnya tidak linier menunggu upaya resmi yang lain. Namun upaya mencari kebenaran adalah upaya utama yang tidak bisa ditunda oleh sebuah Negara yang sempat mengalami praktik otoritarianisme.
Beberapa Negara yang mengalami pemerintahan otoriter segera melakukan pengungkapan kebenaran, seperti pencarian orang hilang pada masa pemerintahan militer di Argentina yang membuahkan hasil, atau pengungkapan fakta sejarah di Guatemala atas perang brutal pemerintah dan kelompok sayap kiri yang mengakibatkan genosida dan pelanggaran HAM yang meluas. Juga pengungkapan kebenaran yang telah dan masih berlangsung di Negara-negara dengan sejarah kekerasan lainnya. Maka mengakui pentingnya hal ini, pada tahun 2010, Dewan HAM PBB telah menyerukan untuk memajukan pemahaman publik tentang pentingnya pemenuhan hak atas kebenaran terkait peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat.
Di Indonesia, sejak awal reformasi telah dimandatkan untuk mengungkapkan kebenaran atas penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau. Secara normatif telah dituangkan didalam TAP MPR No. V/MPR/2000, UUD 1945 dan sejumlah produk hukum nasional.
Bapak Presiden Joko Widodo menyadari dan memahami hal tersebut. Bahkan Presiden menyebutkan bahwa Reformasi 1998 yang menjanjikan lahirnya Indonesia baru yang lebih demokratis, sejatera, berkeadilan dan bermartabat-tampaknya semakin terjal dan penuh ketidakpastian. Atas dasar itu, Presiden Joko Widodo menjanjikan penyelesaian masalah untuk menuju Indonesia Hebat. Menyelesaikan beban social politik masa lalu secara berkeadilan dan menghapus impunitas. Lebih jauh, penyelesaian kasus masa lalu ia masukkan dalam Sembilan Agenda Prioritas Nawa Cita.
Namun kenyataannya jauh dari harapan. Memasuki tahun ketiga pemerintahan Joko Widodo-belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang berat dibawa ke Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan suatu Komisi yang bersifat adhoc/temporer untuk memfasilitasi proses pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM di masa lalu-sebagaimana dia sampaikan dalam RPJMN 2015-2019-juga tidak terbentuk. Sebaliknya, Presiden Joko Widodo telah menjadi bagian dari kroni yang melanggengkan impunitas. Secara berani mengangkat figur-figur pelanggaran HAM dalam kabinetnya dan ruang politik semakin dipersulit untuk memunculkan diskursus pertanggungjawaban penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Berangkat dari kondisi saat ini, kami tidak bisa tinggal diam membiarkan pemerintah terus-menerus melanggengkan impunitas. Pada moment peringatan hari Kebenaran Internasional, kami ingatkan bapak Presiden Joko Widodo agar melaksanakan kewajibannya menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Jika Presiden Jokowi tidak menyelesaikan masalah ini, maka tidak tertutup kemungkinan duniar luar atau masyarakat internasional akan mengambil-alih.
Kontras dalam siaran Persnya mengatakan , kami meminta Presiden Joko Widodo untuk bekerja cepat memutuskan kebijakan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Pertama membentuk suatu Komite adhoc (Komite Kepresidenan) untuk memfasilitasi pengungkapan kebenaran yang berada langsung di bawah kendali Presiden. Kedua membentuk Pengadilan HAM adhoc-setidaknya disisa waktu pemerintahan Presiden Joko Widodo terbentuk Pengadilan HAM adhoc untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) dan Pengadilan HAM adhoc untuk kasus Penculikan kekerasan. (SUR).
Pihak Kontras menyebutkan, upaya pencarian kebenaran ini adalah upaya melekat dari akuntabilitas negara yang harus dilakukan. Upaya ini sifatnya tidak linier menunggu upaya resmi yang lain. Namun upaya mencari kebenaran adalah upaya utama yang tidak bisa ditunda oleh sebuah Negara yang sempat mengalami praktik otoritarianisme.
Beberapa Negara yang mengalami pemerintahan otoriter segera melakukan pengungkapan kebenaran, seperti pencarian orang hilang pada masa pemerintahan militer di Argentina yang membuahkan hasil, atau pengungkapan fakta sejarah di Guatemala atas perang brutal pemerintah dan kelompok sayap kiri yang mengakibatkan genosida dan pelanggaran HAM yang meluas. Juga pengungkapan kebenaran yang telah dan masih berlangsung di Negara-negara dengan sejarah kekerasan lainnya. Maka mengakui pentingnya hal ini, pada tahun 2010, Dewan HAM PBB telah menyerukan untuk memajukan pemahaman publik tentang pentingnya pemenuhan hak atas kebenaran terkait peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat.
Di Indonesia, sejak awal reformasi telah dimandatkan untuk mengungkapkan kebenaran atas penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau. Secara normatif telah dituangkan didalam TAP MPR No. V/MPR/2000, UUD 1945 dan sejumlah produk hukum nasional.
Bapak Presiden Joko Widodo menyadari dan memahami hal tersebut. Bahkan Presiden menyebutkan bahwa Reformasi 1998 yang menjanjikan lahirnya Indonesia baru yang lebih demokratis, sejatera, berkeadilan dan bermartabat-tampaknya semakin terjal dan penuh ketidakpastian. Atas dasar itu, Presiden Joko Widodo menjanjikan penyelesaian masalah untuk menuju Indonesia Hebat. Menyelesaikan beban social politik masa lalu secara berkeadilan dan menghapus impunitas. Lebih jauh, penyelesaian kasus masa lalu ia masukkan dalam Sembilan Agenda Prioritas Nawa Cita.
Namun kenyataannya jauh dari harapan. Memasuki tahun ketiga pemerintahan Joko Widodo-belum ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang berat dibawa ke Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan suatu Komisi yang bersifat adhoc/temporer untuk memfasilitasi proses pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM di masa lalu-sebagaimana dia sampaikan dalam RPJMN 2015-2019-juga tidak terbentuk. Sebaliknya, Presiden Joko Widodo telah menjadi bagian dari kroni yang melanggengkan impunitas. Secara berani mengangkat figur-figur pelanggaran HAM dalam kabinetnya dan ruang politik semakin dipersulit untuk memunculkan diskursus pertanggungjawaban penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Berangkat dari kondisi saat ini, kami tidak bisa tinggal diam membiarkan pemerintah terus-menerus melanggengkan impunitas. Pada moment peringatan hari Kebenaran Internasional, kami ingatkan bapak Presiden Joko Widodo agar melaksanakan kewajibannya menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Jika Presiden Jokowi tidak menyelesaikan masalah ini, maka tidak tertutup kemungkinan duniar luar atau masyarakat internasional akan mengambil-alih.
Kontras dalam siaran Persnya mengatakan , kami meminta Presiden Joko Widodo untuk bekerja cepat memutuskan kebijakan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Pertama membentuk suatu Komite adhoc (Komite Kepresidenan) untuk memfasilitasi pengungkapan kebenaran yang berada langsung di bawah kendali Presiden. Kedua membentuk Pengadilan HAM adhoc-setidaknya disisa waktu pemerintahan Presiden Joko Widodo terbentuk Pengadilan HAM adhoc untuk kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) dan Pengadilan HAM adhoc untuk kasus Penculikan kekerasan. (SUR).
No comments