Agar Dievaluasi, Praktek Dan Persyaratan Penggunaan Senjata Api Di Lingkungan Polri.

Kapolri Tito Karnivan
Jakarta,BERIT-ONE.COM-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Kapolri agar segera melakukan evaluasi terhadap praktek dan persyaratan penggunaan senjata api di lingkungan Polri, sebagai respon atas berbagai tindakan penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri dalam beberapa bulan terakhir.

Belum lama ini, insiden penyalahgunaan senjata api terjadi di Lubuklinggau, Sumatera Selatan oleh Brigadir K, anggota Sabhara di Polres Lubuklinggau yang melakukan penembakan terhadap satu keluarga di dalam mobil pada Selasa, 18 April 2017. Penembakan tersebut menewaskan dua orang dan lima orang lainnya luka-luka.

Sementara peristiwa di atas belum hilang dari ingatan, pada Rabu, 26 April 2017, terjadi kembali peristiwa penyalahgunaan senjata api oleh Polri. Aipda BS, anggota polisi dari Polres Bengkulu menembak anaknya sendiri hingga tewas. Aipda BS, dalam kondisi malam hari yang gelap gulita, menyangka anaknya sebagai pencuri yang ingin masuk rumah dan memutuskan menembaknya.

Tanpa belajar dari kesalahan-kesalahan anggota Polri di lapangan terkait penyalahgunaan kepemilikan senjata api diatas, Kapolres Jakarta Pusat Kombes. Suyudi Ario Seto dalam keterangan persnya pada 24 April 2016 lalu sebagaimana dikutip Jawapos.com, justru menyatakan telah membentuk Tim Alpha yang secara khusus menangani kasus pencurian dengan kekerasan (curas), pencurian kendaraan bermotor (curanmor) maupun tawuran. Tim Alpha ini bahkan diberikan kewenangan untuk melakukan tembak di tempat terhadap pelaku tawuran. Padahal dalam kondisi tawuran, resiko adanya salah tembak terhadap warga yang kebetulan berada di dekat lokasi sangat dimungkinkan terjadi.

Dari data pemantauan KontraS pada periode Januari – Maret 2017 saja, telah terjadi 124 operasi penanggulangan kriminal dengan mekanisme penembakan oleh Polri di seluruh Indonesia, dengan mayoritas penembakan terjadi di wilayah Sumatera dan Sulawesi. Penembakan-penembakan tersebut menimbulkan jatuhnya korban sebanyak 176 orang yang terdiri dari 97 korban luka dan 79 orang tewas. Ke-79 orang tersebut tewas dalam 62 operasi penembakan oleh Polri. Sedangkan korban tewas paling banyak berasal dari operasi penanggulangan narkotika, yakni dari empat puluh operasi telah menimbulkan korban luka 14 orang dan korban tewas 41 orang.

Berdasarkan ketiga peristiwa di atas dan data pemantauan KontraS, jelas menunjukkan bahwa terus menerus terjadinya peristiwa penyalahgunaan senjata oleh anggota Polri menunjukkan bahwa institusi Polri tidak pernah belajar dari kesalahan anggota-anggotanya di lapangan. Padahal angka operasi penembakan di atas telah menunjukkan bahwa 44% korban penembakan polisi berakhir dengan meninggal dunia. Dengan demikian, dalam tempo 3 bulan saja, anggota Polri telah menghilangkan nyawa 79 orang di seluruh Indonesia dengan menggunakan senjata api.

Meskipun di internal Polri sudah berlaku Peraturan Kapolri (Perkap) No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, namun mandat aturan tersebut tidak diterapkan dengan baik. Besarnya jumlah korban tewas dalam operasi Polri di atas menunjukkan masih banyak anggota Polri yang tidak menerapkan prinsip nesesitas dan proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 3 Perkap No. 1 Tahun 2009 tersebut maupun Pasal 48 Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur akuntabilitas dan prosedur penggunaan senjata api oleh anggota Polri. Lebih jauh, adanya kesewenang-wenangan terhadap penggunaan senjata oleh anggota Polri pada akhirnya telah mengabaikan hak warga masyarakat atas persamaan di hadapan hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia karena faktanya, penembakan dilakukan terhadap mereka yang belum tentu terbukti bersalah.

Secara khusus, kami mengecam proses hukum terhadap Brigadir K, pelaku penembakan satu keluarga di Sumatera Selatan, yang hanya coba dikenakan Pasal 359 KUHP terkait kelalaian yang menimbulkan kematian. Ancaman sanksinya tentu lebih ringan jika dibandingkan penggunaan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian dengan ancaman tujuh tahun penjara. Padahal dalam peristiwa penembakan satu keluarga diatas, Brigadir K terbukti menembak secara serampangan dan lebih dari satu kali sehingga makna kelalaian yang menimbulkan kematian haruslah gugur karena ada kesengajaan yang dilakukan anggota Polri tersebut. Kami mengkhawatirkan, pengabaian proses hukum maupun rendahnya sanksi bagi anggota Polri penyalahguna senjata api pada akhirnya turut menyumbang dalam rendahnya kedisiplinan anggota Polri menggunakan senjata api secara proporsional.

Kami juga mendesak agar evaluasi secara menyeluruh mengenai mekanisme dan persyaratan kepemilikan senjata api bagi anggota Polri secara sungguh-sungguh dilakukan oleh Kapolri sebagai pimpinan tertinggi di institusi Kepolisian.

Siaran Pers KontraS minggu lalu  mengatakan, persyaratan atas kepemilikan senjata api ini penting diperketat untuk menghindari terulang kembalinya peristiwa yang sama dengan jumlah korban yang lebih banyak lagi di kemudian hari. (SUR).

No comments

Powered by Blogger.