Pemerintah Indonesia Diharap Tidak Menutupi Pelanggaran HAM Yang Ada.

Jakarta,BERITA-ONE.COM.-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) telah memantau berlangsungnya putaran ketiga Universal Periodic Review untuk Indonesia pada Rabu, 3 Mei 2017.

Proses yang kami ikuti dari Jakarta Indonesia nampaknya tidak terlalu menunjukkan greget diplomasi HAM.

Sidang UPR yang dipimpin oleh 3 anggota troika yakni Bangladesh, Belgia, Ekuador memberikan hak menjawab kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, yang didampingi Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly dan puluhan rombongan delegasi Pemerintah RI nampak memiliki posisi tawar yang tinggi. Hampir kebanyakan dari 109 delegasi negara memberikan dukungan kepada agenda perlindungan hak-hak anak dan perempuan. Kedua agenda HAM ini secara eksplisit memang dijamin dalam RANHAM 2015-2019.

Isu lain yang muncul dan menguat mengikutinya adalah eksekusi hukuman mati, posisi Indonesia atas praktik penyiksaan, kualitas jaminan penghapusan diskriminasi terhadap minoritas (keagamaan, kepercayaan, LGBTI), diikuti dengan pertanyaan langkah-langkah Indonesia atas situasi Papua, kebebasan-kebebasan fundamental (ekspresi, opini, berserikat, dan berkumpul), pelatihan HAM dan hukum humaniter kepada aparat keamanan (TNI dan Polri), diikuti dengan ajakan untuk meratifikasi instrumen-instrumen hukum HAM internasional, seperti 2nd Protocol ICCPR, OPCAT, Statuta Roma.

Namun demikian, nampaknya nuansa tebang pilih dan menggiring opini publik internasional telah berhasil dikawal ‘dengan baik’ oleh Kementerian Luar Negeri. Mengapa? Hak-hak asasi manusia yang muncul dan menguat adalah hak-hak asasi yang ‘aman dan tidak berbahaya’ serta ‘tidak berrisiko’ untuk melihat kualitas penegakan hukum. KontraS amat menyayangkan agenda HAM dan anti terorisme tidak mendapatkan ruang pertanyaannya. Lalu, kualitas kebebasan-kebebasan fundamental yang tidak dilihat sebagai tren dari menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia (hal ini penting mengingat Retno Marsudi terus menerus ‘menjual’ isu demokrasi’ pada UPR kali ini) – melainkan sebagai isu parsial.

Isu kebebasan beragama, toleransi, pluralisme yang dikerdilkan oleh Menlu Marsudi melalui contoh kasus Pilkada Jakarta adalah jawaban yang tidak mengkonsiderasi dan mempertimbangkan kualitas anjloknya toleransi di Indonesia. Isu perlindungan anak dan perempuan juga tidak menyentuh pada isu perempuan di sektor pembangunan (para perempuan dan anak yang menjadi korban penggusuran, di wilayah tambang, di wilayah perampasan tanah, termasuk para ibu dari orang tua korban pelanggaran HAM yang berat –salah satunya adalah penghilangan paksa). Agenda bisnis dan HAM, termasuk infrastruktur hanya ditanyakan oleh Kenya. Namun menariknya, negara di kawasan Afrika banyak menanyakan praktik eksekusi mati kepada Pemerintah Indonesia. Mengingat banyak dari warga negara di kawasan Afrika yang diekskusi mati pada periode 2015-2016 di masa Pemerintahan Joko Widodo.

Untuk situasi HAM di Papua, persoalannya bukan hanya membuka akses media internasional, melainkan kondisi HAM yang terus menerus memburuk. Kasus Paniai, Tolikara, Wasior, Wamena adalah cerminan bahwa komitmen HAM Pemerintah RI untuk Papua masih sekadar retorika, atau janji manis di depan mama-mama Papua. KontraS cukup terkejut ketika Menlu Marsudi menyatakan bahwa pemerintah tengah mengurus Wasior dan Wamena melalui Pengadilan HAM adhoc di Makassar. Informasi ini bahkan tidak pernah didengar oleh para korban. Bagaimana informasi sepenting ini menjadi eksklusif dan disampaikan di Jenewa, jauh dari sumber persoalan di Papua?

Hanya Prancis dan Jepang yang mengangkat pentingnya isu pencarian orang hilang. Amerika Serikat, meski di bawah rezim Donald Trump, bahkan menanyakan tentang masa depan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, dan kaitannya dengan para pelaku yang belum dibawa ke ruang akuntabilitas. Meksiko bahkan mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengundang Pelapor Khusus untuk Isu Kebenaran, Keadilan, Reparasi dan Jaminan Ketidakberulangan, meski isu tentang pengungkapan kebenaran untuk Peristiwa 1965 tidak begitu kuat muncul dalam sidang ini. Penuntasan pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak hanya bisa diselesaikan apabila pemerintah hanya menggunakan dan meyakini satu cara yakni rekonsiliasi untuk menyelesaikan seluruh kasus pelanggaran HAM yang berat yang memiliki karakteristik berbeda. KontraS dan para korban masih amat memerlukan dukungan dari publik internasional untuk memenangkan perlawanan impunitas ini.

KontraS berharap, dengan ‘posisi aman’ ini, Pemerintah Indonesia tidak menutupi fakta pelanggaran-pelanggaran HAM yang muncul dan terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia tetap harus merealisasikan isi dari RPJMN dan mewujudkan kepercayaan diri Indonesia di forum-forum internasional, sebagaimana yang ditunjukkan pagi ini di Dewan HAM PBB.

Suara di kawasan regional Asia Tenggara yang cenderung mendukung Pemerintah Indonesia dengan tidak memberikan rekomendasi konkret adalah wajah bahwa fakta pelanggaran HAM yang tertutupi dan saling ditutupi ini adalah bentuk ‘solidaritas’ rezim anti HAM yang kini menguat di kawasan.

Siaran Pers KontraS menyebutkan, sebagai masyarakat sipil, KontraS akan terus mengajak publik untuk memerhatikan isi rekomendasi, termasuk upaya-upaya kolektif yang bisa kita lakukan dalam memperjuangkan hak dan kebebasan kita.(SUR).

No comments

Powered by Blogger.