Presiden, Jaksa Agung, Dan Lainya Tidak Hadiri Sidang Dipengadilan Negeri Jakarta Puast


Alexius Tantrajaya SH. MH
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Meski sidang sudah dibuka sebanyak tiga kali, dan sudah pula dipanggil secara patut, namun Pemerintah/Presiden RI, Jaksa Agung RI, Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI belum juga mau menghadiri gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan Alexius Tantrajaya SH, MH di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 11 Juni 2019.

Mereka tidak hadir tanpa memberikan alasan secara langsung ataupun melalui wakilnya/kuasa hukumnya. Sehingga, majelis hakim yang diketuai Purwanto SH tersebut menunda sidang hingga 2 Juli mendatang. Majelis akan memanggil mereka kembali disertai peringatan.

" Kami berikan kesempatan sekali lagi kepada para tergugat yang belum bisa hadir, dan akan kami panggil lagi melalui surat disertai peringatan. Jika masih tidak hadir pula, sidang akan terus berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku", kata majelis hakim.

Kasus ini terjadi karena,  Alexius Tantrajaya SH.MH selaku  Penegak hukum merasa kecewa kepada para tergugat, kemudian  mengajukan gugtan  ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan  para  tergugat antara lain;
Pemerintah Indonesia (Presiden), Ketua DPR, Ketua KPK, Ketua Kompolnas,  Ketua Komnas HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian RI, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Kepala Devisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, masingasing sebagai tergugat I sampai dengan IX. Sedangkan  Ketua Ombudsman selaku Turut Tergugat.

Kepada wartawan usai sidang,   penggugat Alexius Tantrajaya SH.MH mengatakan, gugatan terhadap Presiden dan sejumlah  lembaga negara ini sudah yang ketiga kalinya. Pertama dilakukan olehnya  sebagai Advokat. Kedua Sebagai Kuasa Hukum Ny. Maria Magdalena Adriati Hartono. Dan yang kali ini (ke-3) dialakukan Alexius sebagai Advokat  dengan penambahan pihak  Tergugatnya,  karena merasa telah kecewa dan dilecehkan olehnya.

Kasus ini berawal ketika tahun 2008 Ny Maria melaporkan kasus pemalsuan Akta Waris ke Mabes Polri menyangkut warisan peninggalan mendiang suaminya, Denianto Wirawardhana, yang akan dikuasai oleh keluarga almarhum.

Padahal yang berhak atas warisan itu adalah dua anak hasil perkawinannya dengan almarhum, serta seorang anak yang bermukim di Jerman, hasil perkawinan Denianto Wirawardhana sebelumnya dengan wanita warga negara Jerman.

“Perkara klien kami mengendap begitu lama. Bayangkan saja, Ny. Maria melapor pada tahun 2008 , hingga 2019 ini polisi belum memproses. Itu artinya, sudah 11 tahun lebih laporan klien kami digantung. Tidak jelas alasannya. Dan  laporan itu  No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, tanggal 8  Agustus 2018,  perihal dugaan keterangan palsu dengan terlapor Lim Kwang Yauw, Kustiadi Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi Suwandinata.

Dengan berlarut larutnya penangakan kasus laporan Ny. Maria ini, rupanya telah dimanfaatkan para terlapor karena  telah berhasil mengambil uang milik Almarhum Denianto Wirawardhana yang tersimpan sebagai deposito di Bank Bumi Arta, Tbk. sebesar Rp 9,6 milyar  serta 2  unit Ruko di Jalan Jembatan Dua, Jakarta Utara.

Selain itu   Alexius menjelaskan tentang Surat Pemberitauan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang diserahkan kepada hakim  pada sidang tanggal 8 Februari 2018. "SPDP yang dimaksud tertanggal 29 Januari 2018 dari Mabes Polri kepada Kejaksan Agung RI. Padahal laporan Polisi dilakukan tanggal 8 Agustus 2008. Jadi laporan ini  mangkrak di kepolisian selama 11  tahun .

Yang aneh,   beberapa waktu setelah  laporan Polisi ini terjadi,  sudah dilakukan pemeriksaan pemeriksaan,  dan ada juga Berita Acara Pemeriksaan (BAP)-nya. Tapi mengapa SPDP-nya baru dikeluarkan tanggal 29 Januari 2018 lalu. Artinya,  tindakan polisi yang melakukan pemeriksaan sebelumnya terhadap kasus ini,  merupakan tindakan abal-abal, kata Alexius

Dengan sisa waktu kurang lebih 1 tahun lagi kasus ini akan Daluwarsa, maka Alexius Tantrajaya SH.MH  selalu Penegak hukum mengajukan gugtan ini kembali  ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Alasannya, gugatan PMH ini  dilakukan karena  Advokat senior/Penegak Hukum Alexius Tantrajaya tersebut merasa profesinya dilecehkan, lalu  mengajukan gugatan ganti rugi sebesar Rp. 1,1 miliar terhadap Pemerintah Indonesia (Presiden) dan Sembilan lembaga Negara lainnya. “Saya gugat ganti rugi sebesar Rp 1,1 miliar, baik sendiri-sendiri maupun patungan (tanggung renteng). Harus dibayar tunai, nggak bisa dicicil, kata Alexius kepada wartawan.

Sebagai advokat, dia merasa profesinya dilecehkan oleh para tergugat. “Saya menilai, mereka telah mengingkari sumpah dan janji sebagai penegak hukum,” katanya.

Para tergugat, lanjut Alexius, sebagai penegak hukum tidak dapat melaksanakan secara maksimal Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni: “Negara Indonesia adalah negara hukum dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya,” ujarnya memapar isi pasal dimaksud.

Dijelaskan, secara perundangan, seharusnya para tergugat memberikan perlindungan hukum kepada kliennya, Ny. Maria dan kedua anaknya. Tapi nyatanya, hal itu tidak pernah dilakukan. Surat permohonan perlindungan hukum yang diajukan kepada para tergugat, diabaikan selama rentang waktu 11 tahun,  tepatnya sejak tahun 2008 silam.

“Baik kepada Presiden, kami juga berkirim surat kepada lembaga-lembaga pemerintah tersebut, yang intinya meminta perlindungan hukum terhadap Maria. Tapi, jangankan perlindungan, merespon surat kami saja tak pernah dilakukan. Di mana akhirnya, kasus klien kami menggantung. Padahal batas kadaluarsanya tinggal setahun lebih, di mana laporan pidana Maria akan hangus secara hukum,” papar Alexius.

Sebagai advokat, katanya, dia harus profesional, bertanggung jawab, serta memberikan perlindungan hukum kepada klien. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (2) UU Advokat No. 18 Tahun 2003.

“Tapi sebagai penegak hukum, saya merasa para tergugat telah melecehkan saya selaku advokat, karena telah mengabaikan surat permohonan perlindungan hukum yang saya kirim kepada mereka. Dan saya beranggapan, mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum. Wajar jika saya menggugat,” ujar Alexius.

Kasus Warisan Menurut Alexius, kasus Maria menyangkut warisan peninggalan mendiang suaminya, Denianto Wirawardhana, yang akan dikuasai oleh keluarga almarhum. Padahal yang berhak atas warisan itu adalah dua anak hasil perkawinannya dengan almarhum, serta seorang anak yang bermukim di Jerman, hasil perkawinan Denianto Wirawardhana sebelumnya dengan wanita warga negara Jerman.

“Perkara klien kami mengendap begitu lama. Bayangkan saja, Maria Magdalena melapor pada tahun 2008, hingga 2019 ini polisi belum memproses. Itu artinya, sudah 11 tahun lebih laporan klien kami digantung. Tidak jelas alasannya seperti apa,” ungkapnya.

Ditegaskan, sesuai Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ancaman pidana di atas 3 tahun lebih masa kadaluarsa perkaranya 12 tahun. Berarti tenggang waktu proses hokum kliennya sedikit sekali. Yakni, tersisa setahun empat bulan ke depan.

“Jika polisi belum juga memproses, berarti laporan klien kami tahun depan sudah hangus. Apakah itu yang diharapkan polisi untuk kasus klien kami? Jika benar, rasa keadilan seorang rakyat bernama Maria Magdalena telah dicabik-cabik. Hak keadilannya telah diperkosa,” tegas Alexius.
Advokat senior ini menyatakan, dalam konteks perkara Maria, polisi bersikap diskriminatif. Hal ini bisa dibuktikan, yakni terkait laporan keluarga almarhum Denianto Wirawardhana terhadap kliennya di Polda Metro Jaya pada 16 Nopember 2007, dengan tuduhan Maria Magdalena menguasai warisan almarhum secara sepihak.

“Dalam waktu singkat,
laporan keluarga almarhum diproses Polda Metro Jaya, No.Pol.: LP/4774/K/XI/2007/SPK UNIT “1” tersebut, dan oleh kejaksaan dilimpahkan ke pengadilan. Maria dijadikan terdakwa. Tapi Tuhan adil, pengadilan menyatakan Maria Magdalena tidak bersalah. Klien kami bebas dari tuntutan hukum,” jelas Alexius.

Setahun kemudian, lanjut Alexius, pada 8 Agustus 2008 kliennya melaporkan keluarga almarhum suaminya ke Mabes Polri dengan laporan No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, perihal dugaan keterangan palsu. Mereka yang dilaporkan di antaranya Lim Kwang Yauw, Kustiadi Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi Suwandinata.

Para terlapor itu, jelasnya, pada 11 Januari 2008 diketahui membuat akta keterangan waris pada Notaris Rohana Frieta yang isinya disebutkan, bahwa almarhum Denianto Wirawardhana tidak pernah menikah, tidak pernah mengadopsi anak, dan tidak pernah mengakui anak di luar nikah.

Menurut dia, kliennya menilai keterangan itu palsu. Tidak dapat dibenarkan. Sebab, dari pernikahan dengan almarhum Denianto Wirawardhana, Maria Magdalena melahirkan dua anak, Randy William dan Cindy William. Semuanya tercatat di kartu keluarga, buku lahir dan akta kelahiran. Secara hukum tidak bisa terbantahkan.
“Bahkan, sebelumnya, almarhum pernah menikah dengan wanita Jerman, Gabriela Gerda Elfriede. Punya satu anak, Thomas Wirawardhana. Mereka menetap di Jerman. Sedangkan pernikahan dengan Maria Magdalena dikaruniai dua anak, yaitu Randy William dan Cindy William,” papar Alexius.

Perlu juga diketahui, tambahnya, ketika Thomas Wirawardhana masih kecil, pengadilan Jerman sudah menjatuhkan putusan bahwa almarhum Denianto Wirawardhana harus memberikan biaya hidup anaknya itu. Jika dikaitkan dengan harta benda peninggalan almarhum, maka secara hukum Thomas berhak sebagai ahli waris.

Dijelaskan, ternyata proses penanganan laporan pidana kliennya itu sangat berliku-liku, terkesan sengaja dibuat mondar-mandir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai kewibawaan penegak hukum. Yang menyedihkan lagi, keluarga almarhum Denianto Wirawardhana berhasil merampas dua unit Ruko dan uang tunai (tabungan) senilai Rp 9,6 miliar yang disimpan di bank.
“Yang saya sesali, sikap diskriminasi polisi terhadap Maria, warga Negara Indonesia yang semestinya mendapat perlindungan hukum, seolah-olah dibiarkan oleh presiden dan lembaga negara lainnya. Padahal kasusnya itu sudah saya jelaskan panjang lebar dalam surat permohonan perlindungan hukum. Hasilnya tak ada. Wajar jika saya kesal, dan mengajukan gugatan,” pungkas Alexius mengakhiri penjelasannya. (SUR).

No comments

Powered by Blogger.