Kejaksaan Agung Gelar Pelatihan Hukum Antar Negara Terkait Penyebaran 1.300 Mata Uang Kripto


Para peserta pelatihan terpadu penegak hukum.
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan cryptocurrency atau perdagangan mata uang,Kejaksaan RI mengadakan pelatihan terpadu aparat penegak hukum antar negara.

Pelatihan terpadu  penegak hukum antar negara tersebut penting,  mengingat kejahatan Kripto ini memiliiki risiko pada area sistem pembayaran, stabilitas sistem keuangan, aktivitas ilegal, dan perlindungan konsumen.

Pernyataan ini dikatakan wakil Jaksa Agung, Dr. Arminsyah ketika membuka pelatihan terpadu penegak hukum yang berlangsung empat hari tersebut di Badiklat Kejaksaan Agung, di  Ragunan  Pasar Minggu Jakarta Selatan, Selasa 1 Oktober 2019.

Wakil Jaksa Agung Dr Arminsyah dan Kabandiklat Setia Untung Arimuladi
Wakil Jaksa Agung mengatakan, perkembangan cryptocurrency semakin masif mengguncang layanan keuangan dan sistem pembayaran global.

“Tercatat sudah ada sekitar 1300 mata cryptocurrency yang ada di dunia. Pada sisi lain, tidak jarang perkembangan cryptocurrency juga seringkali dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai alat atau sarana dalam melakukan kejahatan,” tambah orang nomor dua di Kejagung tersebut.

Penggunaan cryptocurrency saat kini sudah semakin massif. Tidak hanya menimbulkan dampak yang positif, namun juga berkorelasi dengan tumbuhnya kegiatan ilegal, seperti pencucian uang, transfer dana narkotika, pendanaan teroris, tindak pidana korupsi dan penggelapan pajak.

“ Aakibat kejahatan menggunakan sarana cryptocurrency tidak hanya berdampak kepada negara yang melegalkan, namun juga kepada negara lain yang melarangnya,  mengingat jaringannya yang tanpa sekat, batas, dan bersifat global,” ungkap Arminsyah yang didampingi kepala Badan Diklat Kejaksaan, Setia Untung Arimuladi.

Saat ini kejahatan Kripto telah berkembang semakin signifikan, meskipun skala penuh penyalahgunaan mata uang virtual ini masih belum diketahui, nilai pasarnya. Namun, dari berbagai sumber yang telah dilaporkan telah melebihi EUR 7 Miliar di seluruh dunia.

“ Tentunya tidak ada waktu lagi bagi kita semua selaku Penegak Hukum untuk bersikap diam, atau berleha-leha.

Setiap waktu, perkembangan teknologi dan kejahatan cryptocurrency yang mengikutinya akan selalu bertumbuh tanpa melambat, apalagi menunggu kita untuk beradaptasi sejenak, melainkan sebaliknya terus melaju sedemikian cepat, meninggalkan setiap siapa yang terlambat untuk mengantisipasi dan mengadopsinya,” katanya.

Masih kata Dr Arminsyah, menegaskan kemunculan kejahatan cryptocurrency merupakan sebuah contoh pergeseran paradigma (paradigm shifting) yang semakin kentara, di mana besar dan kuat (big and powerful), tidak lagi menjadi ukuran suatu keberhasilan, melainkan siapa cepat dan gesit (quick and agile), yang akan muncul sebagai pemenang.

Kejahatan cryptocurrency yang bersifat lintas negara haruslah dipandang sebagai musuh bersama (common enemy), oleh karenanya tidak dapat disikapi maupun dihadapi secara parsial oleh masing-masing negara melainkan haruslah dicegah, diperangi, dan diberantas secara holistik dan bersama-sama,” ungkap dia.

Meski demikian kata Arminsyah, publik menyambut hangat keberadaan cryptocurrency, namun bagi pemerhati atau pengamat ekonomi dan pembuat kebijakan bersikap skeptis terhadap isu ini. Sebab, ada kekhawatiran mereka transaksi cryptocurrency tanpa otorisasi dari bank sentral membuat para investor dan pengguna cryptocurrency rawan terhadap indeks volatilitas nilai cryptocurrency yang tinggi.

“Akibatnya negara-negara di dunia mengambil dua sikap dalam menangani cryptocurrency, yakni melarang transaksi cryptocurrency atau melakukan legalisasi terhadap cryptocurrency,” ujarnya.
Katanya, Jepang merupakan negara pertama yang melakukan legalisasi transaksi dan penggunaan cryptocurrency, diikuti diantaranya oleh Amerika Serikat, Denmark, Rusia, Korea Selatan, dan Finlandia.

Sementara Indonesia, melalui Bank Indonesia, pada tanggal 13 Januari 2018 telah melarang transaksi cryptocurrency berupa larangan pembelian, penjualan, atau pertukaran virtual currency. Sikap Indonesia sama dengan Vietnam, Kyrgizstan, Ekuador, dan China,” tegas Arminsyah.

Namun adanya negara yang melegalkan maupun melarang transaksi cryptocurrency tidaklah menghalangi negara-negara di berbagai belahan dunia untuk mengantisipasi kejahatan yang berkaitan dengan cryptocurrency.

Karenanya dia berharap dengan pelatihan yang diikuti 8 negara ini tidak hanya sekadar pertukaran informasi, wawasan, dan pengalaman praktik terbaik penegakan hukum (best practices), namun yang jauh lebih penting, adalah terciptanya koordinasi dan kerja sama yang sinergis antar negara dalam mencegah dan memberantas kejahatan yang menggunakan media cryptocurrency.
“ Koordinasi yang dibangun para peserta pelatihan ini diharapkan tidak semata-mata bersifat formal, melalui ekstradisi dan MLA, tetapi juga melalui kerja sama non-formal, prosecutor to prosecutor, police to prosecutor, maupun customs to prosecutor, saling membantu dalam bentuk penyampaian informasi, data, saran, dan pemberian fasilitas kemudahan ketika saling memerlukan,” imbuhnya.

Kegiatan selama 4 hari ini diikuti dari berbagai lintas negara yakni Indonesia, Singapura, Malaysia, Turki, Thailand, Australia, Rusia, Hongkong dan beberapa atase kejaksaan yang berada di Hongkong, Bagkok dan Singapura serta intansi Polri dan TNI.

Kepala Badan Diklat Kejaksaan RI Setia Untung Arimuladi mengatakan pelatihan kejahatan cryptocurrency atau perdagangan mata uang, atau kerap disebut kejahatan Kripto telah berkembang ditengah kemajuan teknologi, sebagai mata uang digital di mana transaksinya dapat dilakukan dalam jaringan (online).

Karena itu sebagai Penegak Hukum, Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan peduli untuk meningkatkan kemampuan para aparat hukum di Indonesia yang juga diikuti oleh aparat hukum antar negara.
“Sasaran kegiatan ini, tersedianya aparat penegak hukum yang memiliki pengetahuan untuk menghadapi tantangan dan hambatan didalam penanganan masalah cryptocurrency,” ujar Setia Untung Arimuladi, disela pembukaan pelatihan terpadu aparat penegak hukum antar negara tersebut.

Dari pelatihan tersebut diharapkan  dapat menambah wawasan aparat hukum di Indonesia yang dikuti dari unsur Kejaksaan, Polri dan TNI serta dari intansi lainnya seperti Bank Indonesia, PPATK, Dirjen Pajak Kemenkeu.

Selain itu aparat hukum dari beberapa negara sahabat diantaranya dari negara
Singapura, Hongkong, dan Thailand. Untuk jaksa sendiri ada 16 orang, dari Kepala Kejari se Indonesia,” tegasnya.

Keikutsertaan aparat hukum antar negara itu kata Untung,  diharapkan dapat menambah wawasan bagi peserta pelatihan tentang sistem pembayaran dengan cryptocurrency serta bagaimana sistem pengawasan Kripto bagi masing-masing negara peserta pelatinan tersebut.

“Kedepan kegiatan pelatihan ini dapat menjalin kerjasama yang erat antar intansi, baik dalam dan luar negeri dalam pengawasan dan penindakan terhadap Kejahatan Cryptocurrency,” tambah Untung.

Tersediannya aparat penegak hukum yang memiliki pengetahuan untuk menghadapi tantangan dan hambatan di dalam penanganan masalah Kripto serta kerjasama antar negara masing-masing untuk mengatasi masalah yang timbul dari penggunaan Cryptocurrency, kata Untung.

Delapan perwakilan Kedutaan Besar dari negara sahabat serta pejabat eselon I di lingkungan Kejaksaan Agung,  hadir dalam acara ini, diantaranya Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Khusus Adi Toegarisman, JAM Pengawasan M.Yusni, JAM Intelijen Jan S Maringka, Plt JAM Pidana Umum, Plt JAM Datun serta Staf Ahli Jaksa Agung Sudung Situmorang, dan Ferri Wibisono serta  sejumlah pejabat dari lingkungan Kejagung. (SUR).



No comments

Powered by Blogger.