KPK Dorong Perbaikan Tatakelola Obat Pada Sistim Jaminan Kesehatan Nasional.
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong dilakukannya perbaikan tata kelola obat
pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini dilakukan setelah kajian
KPK menemukan 8 persoalan pada sejumlah pemangku kepentingan. Hal tersebut
disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di hadapan Menteri Kesehatan Nila
Djuwita F. Moeloek dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny
Kusumastuti Lukito pada Rabu (19/10) di Jakarta
“Sektor kesehatan menjadi perhatian KPK.
Karenanya, kami akan terus memantau rencana perbaikan yang akan dilakukan
masing-masing pemangku kepentingan,” katanya.
Alex menyebutkan ke-8 persoalan itu, antara lain Ketidaksesuaian Formularium Nasional (FORNAS) dan E-catalogue; Aturan perubahan FORNAS berlaku surut melanggar azas kepastian hukum; Mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal; dan Tidak akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) sebagai dasar pengadaan e-catalogue.
Empat lainnya, yakni ketidaksesuaian daftar obat
pada Panduan Praktik Klinis (PPK) FKTP dengan FORNAS FKTP; Belum adanya aturan
minimal kesesuaian FORNAS pada Formularium RS/Daerah; Belum optimalnya
monitoring dan evaluasi terkait pengadaan obat; serta Lemahnya koordinasi antar
lembaga.
Alex merinci salah satu persoalan, yakni pada
ketidaksesuaian FORNAS dan e-catalogue. FORNAS disusun untuk mengendalikan
mutu, sedangkan e-catalogue dibuat untuk mengendalikan biaya. Namun, fakta di
lapangan ternyata tidak semua obat FORNAS tayang di e-catalogue. Dan
sebaliknya, ada juga obat yang tidak masuk FORNAS tetapi tayang di e-catalogue.
“Kondisi ini mengakibatkan terdapat obat yang
tidak memiliki acuan harga sebagai dasar BPJS Kesehatan membayar klaim.
Selanjutnya juga menimbulkan kesulitan bagi faskes untuk melakukan pengadaan
obat karena tidak semua obat yang dbutuhkan tersedia,” jelas Alex.
Persoalan lain, Alex menjelaskan, tidak akuratnya
RKO sebagai dasar pengadaan e-catalogue. Data RKO yang dihimpun Kementerian
Kesehatan dari Dinkes dan Faskes saat ini belum akurat, karena belum semua
pihak menyampaikan RKO sebagai dasar pengadaan obat di e-catalogue. Selain itu,
data RKO yang ada pun melenceng jauh dari realisasi belanja obat. Di sisi lain
menimbulkan kerugian pada industri farmasi karena ketidakpastian pemenuhan
komitmen yang telah mereka berikan.
“Ini tentu saja menimbulkan kondisi kekosongan
stok obat atau kelebihan stok obat,” katanya.
Sementara itu, menanggapi hasil kajian ini,
Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek menyadari sejumlah kendala yang
berada dalam kendali kementeriannya, misalnya terkait FORNAS dan RKO. Ia
mencontohkan wilayah Papua, dimana Kemenkes mengaku kesulitan dalam
mengumpulkan RKO karena kondisi geografi yang ekstrem.
“Namun begitu, ini kami anggap sebagai tantangan
yang harus diselesaikan. Akan kami perhatikan betul,” katanya.
Komitmen yang sama juga ditunjukkan Ketua BPOM
Penny Kusumastuti Lukito yang menyatakan komitmennya untuk melakukan perbaikan
pada tata kelola obat, khususnya yang terkait pada kewenangannya. Misalnya
persoalan yang terkait Nomor Izin Edar (NIE) dan pengawasan post-market.
“Kami siap berkoordinasi dengan pihak lain untuk
melakukan perbaikan,” katanya.
Sebagai informasi, kajian tata kelola obat
dilakukan karena sejumlah alasan. Di antaranya belanja obat di Indonesia cukup
tinggi, yakni berkisar 40 persen dari belanja kesehatan; Mahalnya harga obat;
Perbandingan harga obat generik dengan generik bermerk yang cukup tinggi;
Penggunaan obat generik yang relatif rendah (sekitar 60-70%, Data Kementerian
Kesehatan, 2014).
Selain itu, penggunaan e-catalogue obat juga
belum optimal, baru sekitar 89% pada dinas kesehatan dan 33% pada rumah sakit
pemerintah (Sumber: LKPP dan Kemenkes, 2015); serta persaingan ketat pada
industri farmasi sehingga mengakibatkan tingginya biaya promosi dari biaya
produksi.
Dari sini, KPK mendorong para pihak melakukan
perbaikan yang komprehensif dan terpadu. KPK merekomendasikan Kementerian
Kesehatan untuk menerbitkan aturan yang belum ada, melakukan perbaikan dan
sinkronisasi aturan yang bertentangan dalam pelaksanaan FORNAS, serta
penyusunan RKO dan pengadaan melalui e-catalogue.
KPK juga mendorong sinergi LKPP dan Kemenkes
dalam menyempurnakan aplikasi yang telah dibangun agar terintegrasi, Kemenkes
melakukan proses monev sebagai dasar evaluasi kebijakan pengadaan obat; serta
Kemenkes/LKPP/BPOM membangun prosedur bersama untuk kegiatan yang melibatkan
pekerjaan lintas instansi dalam rangka memperkuat koordinasi.
Siaran pers KPK menerangkan,dalam waktu sebulan,
para pemangku kepentingan akan merancang rencana aksi untuk melakukan perbaikan
yang diharapkan bisa diselesaikan dalam rentang enam bulan berikutnya.(SUR).
No comments