MA Hormati Proses Hukum Terhadap 4 Hakim Yang Ditangkap Kejagung.

Ketiga hakim Tipikor Jakarta.

JAKARTA,BERITAONE.CO.ID--Setelah  4 orang hakim ditangkap pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) kemarin,  Mahkamah Agung (MA) menyatakan  menghormati proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan  Muhamad Arif  Nuryana dan 3 hakim Tipikor Jakarta Djuyamto, Agam Syarig Burhanudin dan Ali Muhtaron

"Mahkamah Agung menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap Ketua PN Jakarta Selatan dan Majelis Hakim Tipikor PN Jakarta Pusat, sepanjang penanganannya melalui penangkapan tangan. Sebab, sesuai Pasal 26 UU Nomor 2 Tahun 1986, hakim dapat ditangkap dan ditahan atas perintah Jaksa Agung dengan persetujuan Ketua MA,” ujar Juru Bicara MA, Prof. Yanto, dalam konferensi pers di Gedung Media Center MA, Jakarta, Senin (14/4/2025). 

Prof. Yanto menekankan pentingnya menjunjung asas praduga tak bersalah dalam proses hukum yang sedang berjalan. Dan MA juga memastikan bahwa hakim dan panitera yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan akan diberhentikan sementara dari jabatannya. Jika nantinya diputus bersalah secara hukum tetap (BHT), mereka akan diberhentikan secara permanen, katanya.

Dr Yanto dan Kabiro Humas MA.

Seperi yang diberitakan oleh berbagai macam media Kejagung menetapkan 4 orang hakim sebagai tersangka kasus dugaan suap vonis lepas terhadap tiga terdakwa korporasi dalam perkara korupsi ekspor CPO. Ketua PN Jaksel menerima Rp 60 M sedangkan  ketiga hakim yang mengadili perkara  CPO tersebut diduga menerima suap dalam bentuk dolar Amerika Serikat, yang jika dikonversi ke rupiah senilai Rp 22,5 miliar.

Tiga hakim tersebut adalah Djuyamto (Ketua Majelis), Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom. Mereka menyidangkan perkara dengan terdakwa tiga korporasi raksasa yakni Wilmar Nabati Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Berdasarkan alat bukti yang cukup, penyidik telah memeriksa tujuh orang saksi dan menetapkan tiga orang hakim sebagai tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers, Senin (14/04/2025) dini hari di Gedung Kartika Kejagung, Jakarta Selatan

Mulanya kasus ini dari inisiatif Ariyanto Bakri, pengacara dari pihak terdakwa korporasi, yang menghubungi Wahyu Gunawan, Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, untuk “mengurus” perkara agar para kliennya diputus onslag (lepas dari segala tuntutan hukum).

Wahyu lalu meneruskan permintaan itu ke .uhamad Arif  uryana  yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat dan kemudian menjadi Ketua PN Jakarta Selatan. Arif menyanggupi permintaan tersebut, namun meminta imbalan total Rp 60 miliar, yaitu masing-masing Rp 20 miliar untuk tiga hakim.

Setelah sepakat, Arif menunjuk tiga hakim untuk mengadili perkara dan mulai menyalurkan suap dalam bentuk dolar Amerika Serikat.

Pada tahap pertama, Arif Nuryanta memberikan uang dalam bentuk dolar setara Rp 4,5 miliar kepada Djuyamto dan Agam Syarif. Penyerahan dilakukan setelah surat penetapan sidang keluar. Uang itu disebut sebagai “uang membaca berkas” dan untuk memastikan perkara tersebut mendapat perhatian khusus.

Uang tersebut kemudian dibagi bertiga oleh Agam kepada Djuyamto dan Ali Muhtarom.

Tahap kedua terjadi setelah majelis mulai menyidangkan perkara. Arif Nuryanta menyerahkan kembali dolar AS senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto. Penyerahan dilakukan di depan sebuah bank di kawasan Pasar Baru, Jakarta.

Uang tersebut dibagi Djuyamto mendapat  setara Rp 6 milyar, Agam Syarif Baharudin Rp 4,5 miliar dan Ali Muhtarom setara Rp 5 miliar, sehingga ketiha hakim tersebut mendapat Rp 22,5 milyar.

Satu tahun kemudian tanggal  12 dan 14  Maret 2025 mereka ditangkap Kejagung dan sejumlah barang bukti (BB) mobil dan puluhan motor serta  sepwda. (SUR).

No comments

Powered by Blogger.