Tragedi Jojoran III Gubeng : Saat Amarah Mengalahkan Nurani, Mahasiswi ITM Sumatera Serukan Keadilan Tanpa Kekerasan

Regita Arifa Mahasiswi Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatera, 

SURABAYA, BERITAONE. CO. ID—Peristiwa tragis di Jojoran III, Gubeng, Surabaya, menjadi potret kelam bagaimana emosi massa dapat mengubur nilai kemanusiaan. Seorang pria bernama Riski Kristianto (26), yang tertangkap karena diduga mencuri sepeda motor, meninggal dunia setelah empat hari dirawat akibat luka bakar mencapai 70 persen di tubuhnya. Ia bukan hanya terbakar oleh api, tetapi juga oleh amarah manusia yang kehilangan kendali.

Kemarahan warga bisa dimengerti — mereka lelah dan resah dengan maraknya kasus pencurian motor yang terus menghantui lingkungan mereka. Namun, tindakan main hakim sendiri dengan membakar seseorang hidup-hidup bukanlah bentuk keadilan. Itu adalah pelanggaran terhadap hukum dan kemanusiaan. Dalam negara hukum, keadilan seharusnya ditegakkan melalui proses hukum yang beradab, bukan lewat amarah massa.

Peristiwa ini juga mencerminkan dua sisi gelap masyarakat: di satu sisi, ketidakberdayaan warga menghadapi maraknya kejahatan; di sisi lain, runtuhnya kepercayaan terhadap aparat penegak hukum yang dianggap lamban dan tak mampu memberi rasa aman. Ketika kepercayaan itu hilang, warga memilih menjadi “hakim” sendiri — dan di situlah tragedi bermula.

Ironisnya, tindakan tersebut malah menciptakan tragedi baru. Nyawa melayang, pelaku pembakaran kini diburu polisi, dan warga setempat dihantui rasa bersalah serta ketakutan. Apa yang awalnya dimaksudkan sebagai “pelajaran bagi pencuri,” justru menjadi bukti bahwa tanpa kesadaran hukum, manusia bisa berubah menjadi pelaku kekerasan baru.

Salah satu tanggapan datang dari Regita Arifa, mahasiswi Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatera, yang menilai bahwa peristiwa di Jojoran III adalah tamparan keras bagi nurani masyarakat.

“Saya sangat prihatin. Apapun kesalahan seseorang, tidak ada pembenaran untuk menyiksa atau membakar manusia hidup-hidup. Ini bukan keadilan, ini kemarahan yang kehilangan arah. Kalau kita membalas kejahatan dengan kekerasan, maka kita sama saja dengan pelaku kejahatan itu sendiri,” ujar Regita saat dimintai pendapat, Jumat (7/11/2025).

Regita juga menyerukan agar masyarakat kembali mempercayakan penyelesaian kasus kriminal kepada aparat penegak hukum.

“Kita butuh reformasi kepercayaan terhadap hukum. Polisi harus hadir cepat dan tegas, agar masyarakat tidak merasa perlu main hakim sendiri,” tambahnya.

Tragedi di Jojoran III bukan sekadar kasus kriminal. Ini adalah peringatan keras bahwa ketika kemarahan mengalahkan nurani, kemanusiaan pun ikut hangus.

Sebagaimana disampaikan oleh banyak pihak, keadilan tidak akan lahir dari api dan amarah, melainkan dari hukum yang bekerja adil dan hati yang berbelas kasih.(Budi) 

No comments

Powered by Blogger.